Sabtu, 24 Maret 2012

Sundala’ : Kata Tabu yang Kini Populer di Kalangan Anak Bugis


Suatu waktu pada jam istirahat di sekolah, salah seorang teman saya yang bernama Dodi menitipkan uang kepada teman saya Andi untuk dibelikan makanan ringan di kantin sekolah karena Dodi sedang asyik bermain facebook di hpnya. Setelah lama menanti, ternyata makanan yang dibelikan oleh Andi ini ternyata berbeda dengan apa yang diharapkan oleh Dodi. Setelah melihat makanan ringan yang dibelikan oleh Andi tersebut, Dodi kemudian mengumpat dengan berkata “wihh, salahki sundala’ bukan ini yang kusuruh beli” ujarnya. Kemudian Andi juga membalas dengan menjawab “apa paeng mauta’ sundala’ ?”
    Betapa kagetnya saya mendengar kedua temanku ini saling caci-memaki dengan kata-kata tersebut. Bagaimana tidak, saya pernah hampir ditampar oleh Ayah saya karena bertanya apa arti dari kata tersebut, ayah saya bahkan bertanya siapa yang mengajarkan saya mengatakan kata-kata kotor tersebut. Saya akhirnya tahu apa arti kata tersebut setelah menanyakannya dengan sopan kepada kakak sepupuku, dan semenjak kejadian tersebut saya berjanji untuk tidak mengucapkan kembali kata kotor tersebut. Apalagi mengingat di lingkungan sekitar rumah saya yang masyarakatnya didominasi oleh kalangan suku Bugis yang sangat menjunjung tinggi nilai kesopanan dan beretika di dalam keseharian, masyarakat yang sangat memegang teguh prinsip bahwa budaya adalah jembatan menuju kesuksesan, budaya adalah tempat untuk mencari solusi jika terdapat permasalahan, budaya adalah harta yang tak ternilai harganya, jadi sungguh malu rasanya jika sampai mengucapkan kata hina tersebut.
Sundala’ sebenarnya berasal dari bahasa Indonesia “Sundal” yang berarti perempuan jalang; lacur; atau pelacur yang kemudian diadaptasi ke bahasa Makassar menjadi sundala’, seperti kata sandala dari kata “sandal” atau “sendal”. Sekali diucapkan akan membuat seseorang merasa terhina hingga harga dirinya jatuh. Dulu, kata ini dianggap tabu untuk diucapkan, bahkan para orang tua akan memukuli anaknya ketika ia mengucapkannya. Dimana jika sang anak mengucapkannya, si anak akan dipandang tak beretika. Jika begitu si orang tua akan malu jika tak mampu mengajarkan anaknya etika yang baik.
 
Awalnya, kata ini banyak digunakan oleh kaum tak terdidik seperti banci dan pemulung. Namun seiring berjalannya waktu, kata ini kemudian popular dan banyak digunakan oleh anak-anak muda dalam pergaulannya. Bahkan dianggap sebagai kata candaan yang jika diucapkan yang lain bisa bebas tertawa. Makanya, kebiasaan ini kian merebak bak jamur di musim hujan. Sumpah serapah ini bukan lagi menjadi hal yang tabu untuk diucapkan. Jengkel sedikit, sumpah serapah lalu keluar tak terkendali. Segala macam makian keluar untuk meluapkan emosi. Bahkan bukan di kalangan anak muda Bugis saja, berbagai saudara kata yang memiliki makna yang sama dengan kata sundala’ ini juga kian merebak hampir merata di seluruh Indonesia, contohnya saja kata kampret, maho, anjing, fuck, bitch, dan berbagai kata kotor lainnya menjadi lazim digunakan di kalangan anak muda sekarang, sungguh ironis.
    Bagaimanapun bangsa ini harus mengakui bahwa nilai-nilai kesopanan dan kesantunan di dalam dirinya, berangsur-angsur pudar. Keidentikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah perlahan terkikis bersamaan tergerusnya nilai-nilai moral lain. Bangsa ini menjadi sulit untuk memanifestasikan dirinya yang baik, dalam perjalanan untuk menjadi bangsa yang maju dan beradab. Aroma kemajuan membawanya ke dalam ruang-ruang asing yang keras dan kejam. Akan sulit sekali saat ini menemukan manusia-manusia Indonesia yang menjunjung nilai-nilai kesopanan dan kesantunan. Dan semakin sulit saja menemukan orang-orang Indonesia yang mau menegakkan dirinya bersama nilai-nilai kejujuran dan kebaikan. Bangsa ini telah menjadi bangsa yang lebih suka mengabaikan etika dan nilai-nilai moral yang ada. Tak peduli lagi itu baik atau buruk, kecuali bila itu berhubungan dengan kepentingan dan kebaikannya.
    Bangsa ini lebih memilih menjadi bangsa yang memenuhi sisi-sisi di dalam pikirannya dengan nilai-nilai pragmatisme daripada kolektivisme yang tak membawa keuntungan. “loe-loe, gue-gue. Engkau ada karena kau berguna, aku ada karena melihat ada yang berguna.” Nilai-nilai pragmatisme ini memupuskan kuncup-kuncup moral yang sebelumnya menjadi bagian keseharian hidup manusia Indonesia. Bangsa ini tak lagi mau dan tak mampu berkembang dengan kebaikan, dan itu telah menjadi bagian dari sekian pilihan yang dipilihnya. Di sini pekerjaan, jabatan, golongan, kekayaan, kebijakan, dan kekuasaan, dengan bermacam relasi sosialnya tak akan lepas dengan negatifitas penjelmaannya. Bangsa ini tak malu lagi bila menyingkirkan nilai-nilai kejujuran dan kebaikan di dalam lubuk hatinya yang dalam sekalipun, dan diganti dengan segala kepicikan dan kepura-puraan. Bangsa ini menjadi bangsa yang tak lagi mau mengerti arti penting kesopanan dan keramahan, dan arti penting kebaikan dan kejujuran.
    Padahal selama ini orang Indonesia dikenal sebagai orang-orang yang sangat menjunjung tinggi nilai – nilai budayanya sendiri, menjunjung tinggi nilai budayanya sebagai aset untuk melestarikan daerah dan kebudayanya secara turun – temurun. Nilai – nilai budaya yang secara turun – temurun yang dimaksud adalah sopan, santun, taat, menghormati, menghargai, menjunjung tinggi adat, tata krama pergaulan, dan lainnya yang menjadi ciri khas orang Indonesia. Kebiasaan mengalah, menghargai jasa orang lain, menghormati hak milik orang, merupakan gambaran betapa orang Indonesia merupakan bangsa yang sangat menjunjung tinggi budayanya.
    Akan tetapi semua hal ini seakan lenyap dan melebur seakan meleburnya globalisasi dan perkembangan zaman yang semakin modern, dengan keterbukaan antar Negara yang membuat semua aspek kehidupan termasuk aspek kebudayaan membaur tanpa batas. Salah satu hasil nyata dari globalisasi adalah teknologi, teknologi mempercepat terjadinya pembauran dan mempermudah pertukaran serta akses informasi di masyarakat dunia. Dengan teknologi kita bisa dengan mudah memilih keinginan yang kita mau. Tentunya hal ini menjadi pengaruh teknologi yang baik bagi masyarakat, akan tetapi perlu kita sadari bahwa teknologi memiliki dampak negative yang lebih banyak dari apa yang bisa kita bayangkan.
    Bagaimana perkembangan teknologi membawa pengaruh negatif dalam hidup manusia ? apakah pengaruh negatif dari teknologi mempengaruhi pergeseran nilai – nilai budaya dalam kehidupan manusia ? Kedua pertanyaan ini menjadi wajar apabila kita perhatikan dengan seksama dampak dari kemajuan teknologi saat ini. Tidak dipungkiri bahwa perkembangan teknologi saat ini juga membawa pengaruh yang kurang baik atau negatif dalam kehidupan manusia. Kehadiran tekologi yang sedemikian canggih membuat masyarakat umum mempunyai begitu banyak pilihan untuk memilih apa yang dikehendakinya. Sehingga memungkinkan mereka keliru dalam mengadopsi gaya hidup dan tren, hal itu dapat dilihat dari masyarakat Indonesia yang sebelumnya didominasi dan masih menjaga adat Timur kini dengan cepat diubah menjadi negara yang mengikuti gaya dan tren orang-orang Barat, bahkan menjadikan budaya western sebagai gaya hidup anak muda jaman sekarang, termasuk  juga di kalangan anak muda Bugis.
    Dan untuk jawaban atas pertanyaan yang kedua apakah pengaruh negatif teknologi mempengaruhi bergesernya nilai – nilai budaya dalam masyarakat, jawabannya iya. Teknologi diciptakan oleh manusia untuk dapat memenuhi kebutuan manusia itu sendiri, akan tetapi pada perkembangan selanjutnya justru teknologi tersebut disalah gunakan. Misalnya lewat teknologi internet atau dunia maya orang akan semakin mudah mengakses situs – situs porno, yang mana justru hal itu datangnya dari kaum muda, hal ini tentu membuat pergeseran norma asusila dalam hidup kaum muda tersebut. Ini menjadi satu contoh dari sekian banyak contoh yang ada dalam kehidupan sehari hari masyarakat. Contoh lain adalah dampak teknologi di dalam bidang militer, berpuluh – puluh macam senjata dicipatakan untuk membunuh manusia, kemana larinya budaya untuk saling menolong, menghargai sesama manusia kalau teknologi yang diciptakan justru dipakai untuk membunuh manusia sendiri.
    Yang paling hangat dalam ingatan kita tentunya kasus penculikan dan perkosaan yang dilakukan oleh pelajar beberapa waktu lalu yang justru dilakukan setelah pada mulanya berkenalan lewat media teknologi jejaring sosial online facebook. Dengan begitu mudahnya orang dapat mengakses informasi diri dan menyebarluaskan kepada sesama teman, akibatnya prostitusi pun dapat dilakukan lewat dunia maya, ini yang justru merupakan efek dari perkembangan teknologi modern. Selain itu sekarang saya sudah tidak pernah lagi melihat anak-anak di lingkungan sekitar rumah saya bermain bersama di lapangan maupun halaman rumah, sekarang mereka lebih memilih bermain game atau bermain internet di warnet dibanding bermain bersama yang dapat membangun sifat kebersamaan, semangat kegotong-royongan, tolong-menolong, dan persaudaraan. Dan masih banyak lagi contoh betapa perkembangan teknologi yang begitu canggih justru disalah gunakan sehingga mengakibatkan bergesernya nilai – nilai budaya umat manusia itu sendiri.
    Dan bukti yang lebih nyata seperti yang ditunjukkan pada kedua teman saya diatas, mereka menjadi melupakan tata karma dan nilai kesopanan, mereka menjadi lumrah mengucapkan kata-kata yang sebelumnya dianggap tabu, mereka kemudian seakan melupakan berbagai ajaran nilai-nilai luhur yang pernah diajarkan oleh orang tua mereka saat mereka masih kecil. Mereka lebih kian gemar menggunakan kata-kata kasar dan cacian kepada orang lain, bukannya menggunakan kata-kata sopan. Mereka lebih memilih mempopulerkan kata-kata yang dulunya dianggap tabu dan dijadikan sebagai bahasa candaan meraka.
    Memperbaiki tantangan kebobrokan anak muda yang cukup mengkhawatirkan di masa mendatang tentunya bukanlah soal yang gampang. Hal ini memerlukan proses yang berkesinambungan. Namun setidaknya pendidikan moral yang menyenangkan dan mengenalah yang seharusnya ditanamkan dalam diri anak muda. Oleh karena itu dalam upaya mempertahankan nilai nilai budaya dalam lingkungan masyarakat tentunya dibutuhkan kerja yang ekstra, mengingat bahwa nilai – nilai budaya dalam masyarakat menentukan pula perkembangan kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. Mereka yang mampu bertahan di tengah kehidupan teknologi yang semakin canggih tentunya akan mendapatkan kehidupan yang diinginkan, demikian sebaliknya. Akantetapi, Setinggi apapun kemajuan teknologi yang ditawarkan kepada kita jika kita salah menggunakannya tentu akan membuat hidup kita menjadi salah jalan, justru teknologi tersebut akan menyesatkan hidup kita sehingga nilai – nilai budaya hidup kita tidak lagi sesuai dengan yang kita harapkan. Semuanya berpulang kembali kepada kita manusia sebagai makluk sosial, apakah teknologi yang sedemikian canggih ini dapat kita maksimalkan penggunaannya atau justru perkembangan teknologi yang menyeret kita pada hancurnya kebudayaan kita.
    Yang pasti satu hal yang harus kita lakukan sejak dini adalah bagaimana kembali menumbuhkan nilai luhur, kesopanan, kesantunan, ketaatan, sikap saling menghormati, menghargai, menjunjung tinggi adat, tata krama pergaulan, dan nilai lainnya yang menjadi ciri khas orang Indonesia kepada generasi muda sekarang, anak-anak kita, dan cucu-cicit kita nantinya. Menumbuhkan sifat dasar orang Indonesia yang sangat menjunjung tinggi kebudayaan dan nilai-nilai luhur bangsanya, memupuk semangat nasionalisme, menumbuhkan rasa cinta kepada tanah air untuk mengembalikan jati diri bangsa Indonesia yang sebenarnya.
    Dan membuktikan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mampu menjaga kebudayaan dan nilai-nilai luhur bangsanya meskipun ditengah gempuran teknologi dan kemajuan zaman yang semakin modern. Mari menjaga kebudayaan dan nilai-nilai luhur bangsa kita! Mempertahankan jati diri bangsa, karena kebudayaan adalah harta yang paling berharga bagi suatu bangsa, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai budayanya. dan memulainya sekarang sebagai generasi muda. Mengapa harus menunggu hari besok kalau masih ada hari ini! Majulah Bangsaku, Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar