Sabtu, 24 Maret 2012

“Phinisi” Perahu Legendaris yang Membelah Lautan, Merupakan Esensi Budaya Leluhur yang Patut di Lestarikan.

Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, hal itu terbukti dengan pengakuan dunia yang tertuang dalam UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea) yang diratifikasi oleh negara-negara sedunia, serta melalui Deklarasi Juanda yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan. (http://www.nationalintegrationmovement.org/)
Seperti diketahui bersama bahwa 3/5 dari wilayah negara kita merupakan wilayah perairan dengan dikelilingi oleh ± 17.508 pulau yang kaya akan sumber daya hayati dan nirhayati yang sampai hari ini oleh karena pergeseran nilai dan paradigma yang tidak tepat memandang konsep negara kepulauan menyebabkan potensi kelautan kita belum benar-benar bisa dimaksimalkan pengelolaan dan pemanfaatannya. Berdasarkan Deklarasi Juanda wilayah perairan Indonesia terbagi atas 3 bagian yaitu: Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Perairan pedalaman, dengan pembagian ini maka terbentuk konsep negara kepulauan Indonesia yang berdaulat. (http://www.nationalintegrationmovement.org/)
Sebagai sebuah negara yang memiliki budaya maritim yang luhur,  Indonesia sejak jaman dahulu sudah sangat terkenal dengan para pelautnya yang ulung yang dapat melakukan penjelajahan bahkan sampai ke wilayah perairan Madagaskar, Vancover dan perairan Ceylon yang ditempuh oleh para pelaut kita dengan menggunakan kapal tradisional. Salah satunya adalah perahu phinisi. Phinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang, umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Phinisi menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang mengandung makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengarungi tujuh samudera besar di dunia.
    Sejarah Lahirnya Kapal Phinisi
Alkisah di negeri nan jauh di seberang lautan hiduplah seorang raja yang bernama Batara Lattu' dan istrinya We Datu Sengeng, mereka merasa sangat bahagia ketika di karuniai dua orang anak kembar emas yang bernama La Ma'dukelleng atau Sawerigading dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Karena dikhawatirkan akan saling jatuh cinta pada saat dewasa mereka berdua pun dipisahkan pada saat kecil dan tidak diperkenankan untuk bertemu. Akan tetapi pada suatu waktu semua kekhawatiran yang selama ini ditakutkan tiba-tiba menjadi kenyataan. Dalam sebuah pesta besar di istana Luwu, tanpa sengaja Sawerigading melihat adik kembarnya We Tenriabeng. Saat itulah perasaan dan pikiran Sawerigading tidak pernah tentram lagi, siang dan malam yang terbayang hanyalah adik kembarnya We Tenriabeng. Akhirnya perasaan cinta itupun ditumpahkannya dengan memberitahukan kepada sang ayah yakni Batara Lattu’. Dalam waktu sekejap Batara Lattu’ mengadakan rapat dewan adat untuk membicarakan masalah ini. Dimana dewan adat memutuskan bahwa peristiwa ini dianggap suatu pelanggaran adat yang sangat memalukan, dan sebagai hukuman atas kelakuan Sawerigading tersebut adalah pembuangan.
Meskipun merasa sedih karena harus di asingkan tapi Sawerigading tetap patuh terhadap titah yang di perintahkan oleh ayahnya tersebut. We Tenriabeng juga merasa sangat sedih mendengar kabar tersebut, ia berlari ke istana dan memohon kepada ayahnya agar Sawerigading tidak jadi di asingkan, tapi keputusan raja dan dewan adat sudah tak dapat di tantang lagi, akan tetapi karena anjuran We Tenriabeng tersebut, maka negeri yang dituju dalam pembuangan itu adalah negeri Cina. Karena di negeri Cina terdapat putri raja Cina yang bernama I We Cudai yang kecantikan dan kelembutannya tidak jauh berbeda dengan dirinya (We Tenriabeng).  Sawerigading berjanji kepada Batara Lattu’ bahwa ia tak akan pernah lagi menginjakkan kakinya di tanah Luwu. Sebelum berangkat ia di bekali sebuah perahu besar oleh Batara Lattu’. Setelah berjalan selama berbulan-bulan maka sampailah Sawerigading ke tanah Cina, di sana ia mulai membangun kehidupannya yang baru sebagai seorang Ono (Hamba) sampai suatu ketika ia bertemu dengan We Cudai, seorang putri Cina yang perawakannya sama persis dengan We Tenriabeng. Ia kembali menemukan perasaan cintanya yang selama ini telah hilang akibat jalinan cintanya dengan We Tenriabeng di masa lalu. Ia terpikat oleh kecantikan dan kelembutan yang di tampakkan oleh putri We Cudai sampai sampai ia menyamar sebagai seorang pedagang yang di maksudkan hanya untuk melihat wajah We Cudai setiap harinya.
Sawerigading memberanikan diri untuk berkenalan lebih dekat dengan We Cudai, sampai mereka kemudian menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Sawerigading berjanji kepada We Cudai untuk menikahinya, dan untuk menepati janjinya tersebut maka ia meminang putri We Cudai. Tapi sayang sekali karena lamaran Sawerigading di tolak oleh raja Cina. Karena merasa kecewa lamarannya di tolak maka Sawerigading melakukan peperangan dengan kerajaan Cina. Setelah berhasil mengalahkan pasukan raja Cina, barulah Sawerigading melangsungkan pernikahan dengan We Cudai. Mereka hidup rukun damai dan memperoleh tiga orang anak yaitu : I La Galigo , I Tenridia dan Tenribalobo.
Pada suatu ketika I We Cudai ingin berkunjung ke negeri suaminya, menjumpai mertua yang belum pernah dilihatnya. Sawerigading bimbang mengingat akan sumpahnya dahulu ketika hendak bertolak ke Cina. Bahwa seumur hidupnya ia tidak akan lagi menginjakkan kakinya di tanah Luwu, akan tetapi karena kasihan akan isteri dan anaknya apabila  dibiarkan berlayar sendiri tanpa ditemani, akhirnya iapun ikut serta.
Tapi sebuah musibah terjadi di tengah jalan. Ombak dan badai menghantam perahu mereka dan menghancurkannya. Bagian badan perahu terdampar di Dusun Ara, layarnya mendarat di Tanjung Bira dan sisanya mendarat di Tanah Lemo. Peristiwa itu seolah menjadi pesan simbolis bagi masyarakat Desa Ara. Mereka mengartikan peristiwa ini sebagai petunjuk bahwa mereka harus mengalahkan lautan dengan kerjasama. Sejak kejadian itu, orang Ara hanya mengkhususkan diri sebagai pembuat perahu. Orang bira yang memperoleh sisa layar perahu mengkhususkan diri belajar perbintangan dan tanda-tanda alam. Sedangkan orang Lemo-lemo adalah pengusaha yang memodali dan menggunakan perahu tersebut. Tradisi pembagian tugas yang telah berlangsung selama bertahun-tahun itu akhirnya berujung pada pembuatan sebuah perahu kayu tradisional yang disebut Phinisi.
    Upacara Ritual Pembuatan Phinisi
Upacara ritual juga masih mewarnai proses pembuatan perahu ini. Konon, para pengrajin harus menghitung hari baik untuk memulai pencarian kayu sebagai bahan baku. Biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle'na) yang artinya rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle'na) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, lalu kepala tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian.
Menurut catatan, pohon yang akan ditebang juga tak boleh sembarangan. Harus digelar upacara khusus untuk itu. Tujuannya, mengusir roh penghuni kayu tersebut. Seekor ayam dijadikan sebagai korban untuk dipersembahkan kepada roh. Jenis pohon yang ditebang itu disesuaikan dengan fungsi kayu tersebut. Pemotongan kayu untuk papan selalu disesuaikan dengan arah urat kayu agar kekuatannya terjamin. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat. Ujung lunas yang sudah terpotong tidak boleh menyentuh tanah. Bila balok bagian depan sudah putus, potongan itu harus dilarikan untuk dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala dan dijadikan lambang sebagai suami yang siap melaut untuk mencari nafkah. Sedang potongan balok lunas bagian belakang disimpan di rumah, diibaratkan sebagai istri pelaut yang dengan setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki. Setelah semua bahan kayu mencukupi, barulah dikumpulkan untuk dikeringkan. Ketika melakukan peletakan lunas, juga harus disertai prosesi khusus. Saat dilakukan pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Usai di ucapkan doa, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat.
 Pemasangan papan pengapit lunas disertai dengan upacara "Kalebiseang" atau Upacara "Anjerreki" yaitu untuk penguatan lunas, disusul dengan penyusunan papan dari bawah dengan ukuran lebar yang terkecil sampai ke atas dengan ukuran yang terlebar. Jumlah seluruh papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian bawah. Apabila badan perahu sudah selesai dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan "a'panisi", yaitu memasukkan majun pada sela papan.
Supaya sambungan antarpapan merekat kuat, dipakai bahan perekat dari sejenis kulit pohon barruk. Selanjutnya, dilakukan allepa, yaitu mendempul. Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk selama 12 jam, dikerjakan sedikitnya 6 orang. Untuk kapal 100 ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal. Sentuhan terakhir adalah menggosok dempul dengan kulit pepaya. Proses terakhir kelahiran pinisi adalah peluncurannya. Lagi-lagi, digelar prosesi khusus. Untuk perahu dengan bobot kurang dan 100 ton, biasanya dipotong seekor kambing. Sedangkan untuk kapal 100 ton ke atas, dipotong seekor sapi. Disamping itu juga di siapkan berbagai sesaji yang menjadi salah satu  syarat yang tak boleh ditinggalkan dalam upacara ini seperti jajanan yang semuanya harus berasa manis dan seekor ayam jago putih yang masih sehat. Jajanan menimbulkan keinginan dari pemilik agar perahunya kelak mendatangkan keuntungan yang tinggi. Sedikit darah dari ayam jago putih ditempelkan ke lunas perahu. Ritual itu sebagai simbol harapan agar tak ada darah tertumpah di atas perahu yang akan dibuat.
Ketika pinisi sudah mengapung dl laut, barulah dipasang layar dan dua tiang. Layarnya kadang-kadang berjumlah tujuh. Kapal yang diluncurkan biasanya sudah siap dengan awaknya. Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang dan matahari sedang naik. Sebagai pelaksana utama upacara itu, punggawa alias kepala tukang yang duduk di sebelah kiri lunas. Doa pun diucapkan: “Bismillahir Rahmanir Rahim BuIu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir“ (Artinya: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukma-nul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu.)
Berkaitan dengan cerita kapal phinisi ini, timbul kekhawatiran dari masyarakat Bugis Bulukumba, Sulawesi Selatan bahwa rancangan bangun kapal phinisi akan didaftarkan hak patennya oleh negara asing. Mengingat sentra-sentra pembuatan perahu phinisi yang terbesar di dunia justru terletak diluar Indonesia. Contohnya sentra-sentra itu malah berada di beberapa negara seperti Jepang, Australia, Malaysia dan Brunei. Padahal sebelumnya Bulukumba sudah terlebih dahulu terkenal sebagai penghasil kapal phinisi dengan kualitas terbaik. Indonesia dewasa ini memang sedang penuh dengan hiruk pikuk kepentingan dari banyak pihak. Hal-hal yang seharusnya diperhatikan malah jadi diabaikan. Hal-hal yang pernah membuat negeri ini bangga, sekarang sudah dilupakan. Padahal sebagian besar wilayah kita adalah lautan. Tapi justru di lautan kita makin tertinggal. Seperti nasib kapal Phinisi yang kini terlunta-lunta meskipun pernah mencetak prestasi yang luar biasa. Bahkan mungkin sudah banyak orang Indonesia yang tidak ingat lagi lagu “Nenek moyangku orang pelaut”.
Di tengah kemajuan teknologi yang pesat ini, efektifitas dan produktivitas memang sangat di tuntut, sehingga  sangat aneh apabila masih ada sebuah perahu yang dapat berdiri kokoh tanpa adanya campur tangan teknologi, namun yang menjadi pertanyaan saat ini adalah “apakah kita mampu bertahan di tengah tuntutan zaman yang menginginkan segalanya dengan extra cepat ini?“. Mengingat proses pembuatan phinisi membutuhkan waktu dan dana yang  lumayan besar. Entahlah, semuanya tergantung di tangan-tangan anak muda  bugis saat ini. Yang pasti, di balik semua prosesi adat, dana serta waktu pembuatan yang besar itu, tercipta sebuah perahu phinisi dengan kualitas terbaik yang dapat membelah lautan meskipun tanpa adanya campur tangan dari teknologi. Jayalah phinisiku, tetaplah lestari dan tetaplah menjadi esensi budaya luhur dalam setiap proses pembuatan perahu di negara ini . 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar