Sabtu, 24 Maret 2012

Nilai – Nilai itu Kini menghilang !

    Bingkai keberhasilan suatu negara tak lepas dari poros penggerak anak muda. Bung Karno, sang proklamator pun pernah berkata yang intinya bahwa generasi mudalah yang akan mengguncang dan membuat dunia takluk kepadanya. Ya, memang sabda tersebut mampu membenarkan ramalan yang merujuk dari sepak terjang anak muda saat ini. Namun, sayangnya guncangan tersebut bukanlah sebuah titik awal kebangkitan dari anak muda, melainkan tindakan yang mengancam Indonesia pada keterpurukan. 

    Anggota masyarakat lain memiliki sebuah monitor terhadap sumbangsih baik maupun buruk anak muda. Ketika merujuk pada anak muda dapat dipastikan bahwa image yang akan dominan muncul adalah sikap anak muda yang bisanya hanya bertindak anarkhis, tidak mandiri, dan tidak real action. Sehingga, masyarakat pada umumnya belum juga sempat berfikir dan menaruh kepercayaan akan masa depan bangsa Indonesia terhadap anak muda sudah tertutupi image buruk anak muda tersebut.
    Hampir dunia keseharian terisi dengan cerminan kondisi kronis anak muda Indonesia. Menu berita beberapa masalah tawuran antar pemuda maupun pelajar tanpa alasan yang jelas menjadi santapan sehari-hari hampir semua bentuk media informasi dari televisi hingga internet. Bahkan, beberapa kota yang terkenal dengan icon kota pelajar, kota budaya, dan lain sebagainya pun tak luput dari wabah ini. Dan seakan anak mudalah yang justru melunturkan icon tersebut.
    Namun, di sisi lain anak muda menghadapi terpaan pengaruh yang sangat kuat. Perlu disadari bahwa anak muda saat ini hidup dalam era globalisasi. Sebuah musuh yang sangat cerdik atau sebuah peluang besar yang prospektif bagi yang mampu memanfaatkannya. Didukung dengan kemajuan teknologi dan kemudahan informasi mampu membentuk pola baru dalam kehidupan khususnya anak muda yang tidak memberikan dampak positif, tetapi dampak negatif.
    Bisa dikatakan bahwa terdapat penjajahan sengit yang saat ini tengah berlangsung. Apabila dahulu para pendahulu bangsa dan pahlawan bangsa menempuh berbagai strategi untuk menghadapi serangan penjajahan dari beberapa negara untuk meraih kemerdekaan. Sedangkan, saat ini anak muda demi sukses juga harus menghadapi penjajahan berupa arus informasi buruk dari globalisasi.
    Apabila melihat kenyataan-kenyataan dari anak muda tersebut, maka terjadi keoptimisan ataupun kepesimisan bagi Indonesia di masa mendatang. Namun, kepesimisan lebih cenderung muncul jika melihat tabiat-tabiat yang dilakukan anak muda saat ini. Mampu dianalogikan bahwa masyarakat maupun pemerintah masih dalam fase menghadapi anak muda belum terfikir akan fase memperbaiki apalagi mempercayai. Sehingga, satu pertanyaan mengakar adalah bagaimana memperbaiki generasi muda ini yang notabene akan memegang kendali dari bangsa Indonesia di masa mendatang. Generasi muda yang akan meneruskan dan menjaga tradisi kebudayaan bangsa Indonesia, generasi muda yang akan berpegang teguh kepada nilai-nilai luhur yang selama ini dianggap sebagai jati diri bangsa Indonesia.
     Padahal negara Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki wilayah yang luas, terbentang dari Aceh sampai ke Papua. Dengan 17.000 lebih pulau, 470 suku bangsa, 19 daerah hukum adat, sekitar 726 bahasa daerah dan ratusan kelompok etnis yang tersebar di seluruh nusantara, Indonesia juga memiliki banyak sekali nilai-nilai luhur yang dijadikan sebagai jati diri bangsa Indonesia, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dan lama-kelamaan menjadi nilai turun –temurun yang mesti dipelihara meskipun ditengah era globalisasi sekalipun. Nilai – nilai budaya yang secara turun – temurun yang dimaksud adalah sopan, santun, taat, menghormati, menghargai, menjunjung tinggi adat, tata krama pergaulan, dan lainnya yang menjadi ciri khas orang Indonesia. Kebiasaan mengalah, menghargai jasa orang lain, menghormati hak milik orang, merupakan gambaran betapa orang Indonesia merupakan bangsa yang sangat menjunjung tinggi budayanya.
    Salah satu masyarakat di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kebudayaannya adalah masyarakat Bugis-Makassar, masyarakat Bugis-Makassar adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai – nilai budayanya yang memegang teguh prinsip bahwa budaya adalah jembatan menuju kesuksesan, budaya adalah tempat untuk mencari solusi jika terdapat permasalahan, budaya adalah harta yang tak ternilai harganya. Adapun salah satu budaya dan nilai luhur masyarakat Bugis yang masih dipegang adalah dalam nilai toleransi, yang mana nilai toleransi tersebut berbunyi “Sipakatau’, Sipakelebbii, Sipakainge”. Tak sekedar slogan atau semboyang, konsep 3S ini bahkan berkembang menjadi tatanan, tuntunan yang sarat nilai etika, norma dan kaidah. Bahkan, Pemerintah di Sulawesi Selatan pernah menjadikannya sebagai acuan dan nilai dalam menjalankan roda pemerintahannya di masa lampau. Adapun konsep 3S ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
    Sipakatau’, menandaskan bahwa setiap manusia adalah sama (equal). Oleh karena itu setiap manusia berhak mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari sesamanya tanpa memandang ras, agama, bahasa dan jabatan. Di balik sebuah jabatan seseorang ia tetaplah manusia biasa, yang kadang khilaf. Begitupun mereka yang papa adalah juga manusia yang perlu disapa bahkan disantuni. Kebijakan seorang penguasa semestinyalah memperhatikan aspek kemanusiaan dan mendahulukan pendekatan persuasif daripada kekerasan. Dan sikap rakyat dan mahasiswa kepada penguasa semestinyalah pada kadar yang wajar, tidak anarkis dan mengandalkan kebringasan massa serta merusak fasilitas umum demi menyalurkan protes dan aspirasi.
    Sipakalebbi, menandaskan tentang pentingnya saling menghargai posisi masing-masing manusia dalam struktur kemasyarakatan dan pemerintahan. Orang tua tahu bagaimana menyayangi yang muda, dan orang muda tahu cara menghormati yang tua. Laki-laki tahu menghormati perempuan begitupun sebaliknya. Pejabat mengerti cara berkuasa yang adil serta bijaksana dalam melihat keadaan dan mengambil keputusan. Rakyat pun tahu makna dipimpin dan menghormati pemimpinnya yang bekerja keras untuk kepentingan orang banyak. Konsekuensi dari prinsip ini akan membuat siapapun berperilaku dan berbicara sesuai dengan norma (baik) yang dijunjung tinggi oleh masyarakat maupun pemerintah.
    Sipakainge, menegaskan bahwa untuk menciptakan keseimbangan (equilibrium) hidup, maka perlu ada controling (saling mengingatkan). Dan adanya ruang publik untuk saling mengingatkan ini menandaskan bahwa orang Bugis sangat menghargai demokrasi. Setiap masyarakat dan pemerintah mengakui bahwa manusia adalah tempatnya kekurangan dan kekhilafan. Maka sikap menghargai nasehat, saran, dan kritikan dari siapapun merupakan keniscayaan yang harus ditegakkan dalam masyarakat yang sipakainge/demokratis.
    Selain konsep 3S diatas, masyarakat Bugis-Makassar juga memiliki nilai-nilai luhur lainnya yang mesti dipatuhi, misalnya nilai- nilai tata krama dan sopan santun yang ditunjukkan lewat cara duduk (mempo assulengka), cara berdiri (ammenteng) yang tidak boleh berkacak pinggang atau membusungkan dada, cara mempersilahkan (appakarammula), cara menerima tamu (annarima tuana), dan lain sebagainya. Selain itu terdapat pula nilai etika dalam berbicara sopan kepada orang lain, menyangkut sopan santun dan tata krama, ada kata - kata dalam Bahasa Bugis- Makassar yang seharusnya tidak diucapkan dalam pergaulan sosial, apalagi jika berkomunikasi dengan orang tua atau orang yang dituakan, kita diwajibkan menggunakan kata-kata yang sopan dan hormat seperti mengucapkan kata iye’ dan tabe’.
    Untuk kata Iye’, bermakna iya atau mengiyakan, tapi kata ini adalah pilihan kata yang sangat sopan. Kata yang tidak sopannya adalah “Iyo”.  Misalnya ada orang bertanya, “Mau-ki ikut ke Makassar ?”. Jika dijawab “Iyo” maka itu berarti tidak sopan, tapi jika dijawab “Iye”, itu jawaban yang sangat sopan. Mengucapkannya bisa dengan menundukkan kepala sedikit (sedikit saja seperti anggukan kepala). Mengucapkannya sekali saja, sampai dua atau tiga kali masih cukup sopan, “Iye, iye … Iye”. Tapi mengucapkannya kata “Iye” tersebut sudah lebih dari tiga kali maka bisa menimbulkan ketersinggungan atau sudah dapat dipandang sebagai kurang ajar, atau dalam bahasa lokal (Makassar) disebut patoa-toai, Ini berlaku umum, baik kepada kerabat maupun orang lain termasuk orang yang baru kita kenal, baik orang luar, terlebih lagi bagi sesama orang Bugis Makassar.

     Akan tetapi di era globalisasi seperti ini, dunia sedang berkembang tanpa batas melalui berbagai aspek, yang salah satunya adalah aspek kebudayaan, kebudayaan menjadi begitu mudah menjalar dan bercampur menembus batas wilayah. Tentunya kondisi ini dapat membawa dampak positif bagi kemajuan masyarakat, akan tetapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa hal ini membawa banyak dampak negatif khususnya dalam eksistensi kebudayaan lokal yang selama ini dianggap menjadi jati diri dan nilai luhur bangsa Indonesia. Hal ini pula yang terjadi dengan beberapa nilai-nilai luhur masyarakat Bugis-Makassar seperti yang dijelaskan diatas, banyak sekali nilai-nilai luhur yang tidak pernah lagi diimplementasikan di kehidupan sehari-hari hingga lama kelamaan semakin dilupakan, terlebih lagi bagi kaum remaja dan anak-anak zaman sekarang, mereka lebih doyang mengadopsi berbagai gaya dan tren negara barat dibanding mengaplikasikan nilai-nilai luhur tersebut. Kini nilai-nilai luhur tersebut perlahan tapi pasti menhilang, seiring meleburnya zaman dengan globalisasi, dan inilah yang menjadi kewajiban generasi muda sekarang, kewajiban untuk mengembalikan nilai-nilai luhur tersebut dan mengaplikasikannya sampai kepada anak, cucu dan cicit kita. Memperlihatkan kepada mereka bahwa Indonesia adalah negara yang kuat, negara yang kokoh, negara yang mampu mempertahankan budaya, tradisi dan nilai-nilai luhur bangsanya, meskipun dihadang oleh badai globalisasi. Katakan WAJIB untuk menjaga kebudayaan bangsa kita di tengah globalisasi, dan katakan tidak kepada kepunahan nilai-nilai luhur bangsa kita karena globalisasi !!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar