BAB 1:
Pancasila sebagai Sistem Filsafat
ASPEK ONTOLOGIS
Secara ontologis kajian Pancasila sebagai filsafat
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila
Pancasila. Menurut Notonagoro hakikat dasar ontologis Pancasila adalah manusia,
karena manusia merupakan subjek hokum pokok dari sila-sila Pancasila. Hal ini
dapat dijelaskan bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusian yang adil
dan beradab, berkesatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia pada hakikatnya adalah manusia (Kaelan, 2005).
Dengan demikian. secara ontologis hakikat dasar
keberadaan dari sila-sila Pancasila adalah manusia. Untuk hal ini. Notonagoro
lebih lanjut mcngemukakan bahwa manusia sebagai pendukung pokok sila-sila
Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas
susunan kodrat, raga dan jiwa, serta jasmani dan rohani. Selain itu, sebagai
makhluk individu dan sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk
pribadi dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, secara
hierarkis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat
silasila Pancasila (Kaelan, 2005).
Selanjutnya, Pancasila sebagai dasar filsafat negara
Republik Indonesia memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan
dan kesatuan, serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak, yaitu berupa
sifat kodrat monodualis, sebagai makhluk individu sekaligus juga sebagai
makhluk sosial. Di samping itu, kedudukannya sebagai makhluk pribadi yang
berdiri sendiri, sekaligus sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensmya, segala aspek
dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai Pancasila yang merupakan suatu
kesatuan yang utuh yang memiliki sifat dasar yang mutlak berupa sifat kodrat
manusia yang monodualis tersebut.
Kemudian, seluruh nilai-nilai Pancasila tersebut
menjadi dasar rangka dan jiwa bagi bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa
dalam setiap aspek penyelenggaraan Negara harus dijabarkan dan bersumberkan
pada nilai-nilai Pancasila. seperti bentuk negara, sifat negara, tujuan negara,
tugas/kewajiban negara dan warga negara, sistem hukum negara, moral negara,
serta segala aspek penyelenggaraan negara lainnya.
BAB 2: Pancasila
sebagai Ideologi Nasional
DIMENSI
IDEALITAS PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL
Pancasila
Jika dilihat dari nilai-nilai dasarnya, dapat dikatakan sebagai ideologi
terbuka. Dalam Ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai mendasar,
bersifat tetap dan tidak berubah. oleh karenanya ideologi tersebut tidak
langsung bersifat operasional, masih harus dieksplisitkan, dijabarkan melauli
penafsiran yang sesuai dengan konteks jaman. pancasila sebagai ideologi terbuka
memiliki dimensi-dimensi idealitas, normatif, dan realitas.
Pancasila
dikatan sebagai ideologi terbuka memiliki dimensi idealitas karena memiliki
nilai-nilai yang dianggap baik, benar oleh masyarakat indonesia pada khususnya
dan manusia pada umumnya. Rumusan-rumusan pancasila sebagai ideologi terbuka
bersifat umum, universal sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Dimensi idealisme, mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai
bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan cita-cita
tersebut suatu bangsa akan mengetahui ke arah mana tujuan akan dicapai.
Pancasila adalah suatu ideologi yang mengandung cita-cita yang akan dicapai
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Cita-cita tersebut akan
mampu menggugah harapan dan memberikan optimisme Berta motivasi kepada bangsa
Indonesia. Maka semua itu harus diwujudkan secara nyata dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
BAB 3:
Identitas Nasional
Keterkaitan
Globalisasi Dengan Identitas Nasional
a. Pengertian Globalisasi
Adanya Era globalisasi dapat berpengaruh terhadap
nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Era Globalisasi tersebut mau tidak mau,
suka tidak suka telah datang dan menggeser nilai-nilai yang telah ada.
Nilai-ninlai tersebut, ada yang bersifat positif dan ada pula yang bersifat
negative. Semua ini merupakan ancaman,tantangan,dan sekaligus sebagai peluang
bagi bangsa Indonesia untuk berkreasi dan berinovasi disegala aspek kehidupan.
Di era globalisasi, pergaulan antar bangsa semakin
ketat. Batas antarnegara hamper tidak ada artinya, batas wilayah tidak lagi
menjadi penghalang. Di dalam pergaulan antarbangsa yang semakin kental itu,
akan terjadi proses akulturasi, saling meniru dan saling mempengaruhi diantara
budaya masing-masing. Adapun yang perlu dicermati dalam proses akulturasi
tersebut, apakah dapat melunturkan tata nilai yang merupakan jati diri bangsa
Indonesia?
Lunturnya tata nilai tersebut biasanya ditandai oleh
dua faktor yaitu :
1)
semakin menonjolnya sikap individualistis, yaitu mengutamakan kepentingan
pribadi di atas kepentingan umum, hal ini bertentangan dengan asas gotong
royong; serta
2)
semakin menonjolnya sikap materialistis, yang berarti harkat dan martabat
manusia hanya diukur dari hasil atau keberhasilan sesorang dalam memperoleh
kekayaan. Hal ini bisa berakibat bagaiman cara memperolehnya menjadi tidak
dipersoalkan lagi.
Apabila ini terjadi, berarti etika dan moral telah
dikesampingkan. Arus informasi yang semakin pesat mengakibatkan akses
masyarakat tehadap nilai nilai asing yang negative semakin besar. Apabila
proses ini tidak segera dibendung, akan berakibat lebih serius ketika pada
puncaknya masyarakat tidak bangga lagi pada bangsa dan negaranya.
Pengaruh negative akibat proses akulturasi dapat
merongrong nilai-nilai yang telah
ada
di dalam masyarakat. Jika semua ini tidak dapat dibendung, akan menggagu
ketahanan disegala aspek kehidupan, bahkan akan berpengaruh pada kredibilitas
sebuah ideologi. Untuk membendung arus globalisasi yang sangat deras tersebut
maka harus diupayakan suatu kondisi (konsepsi) agar ketahanan nasional dapat
terjaga, yaitu dengan cara membangun sebuah konsep nasionalisme kebangsaan yang
mengarah kepada konsep
Identitas
Nasional.
b. Keterkaitan Globalisasi Dengan Identitas Nasional
Dengan adanya globalisasi, intensitas hubungan masyarakat
antara satu Negara dengan Negara yang lain menjadi semakin tinggi. Dengan
demikian, kecenderungan munculnya kejahatan yang bersifat transnasional semakin
sering terjadi. Kejahatankejahatan tersebut, antara lain terkait dengan masalah
narkotika, pencucian uang (money laundering), peredaran dokumen
keimigrasian palsu, dan terorisme. Masalah-masalah tersebut berpengaruh
terhadap nilai-nilai budaya bangsa yang selama ini dijunjung tinggi.
Hal ini ditunjukkan dengan semakin merajalelanya
peredaran narkotika dan psikotropika sehingga sangat merusak kepribadian dan
moral bangsa, khususnya bagi generasi penerus bangsa. Jika hal tersebut tidak
dibendung akan menggagu terhadap ketahanan nasional di segala aspek kehidupan,
bahkan akan menyebabkan lunturnya nilai-nilai Identitas Nasional.
BAB
4: Sistem Konstitusi
DINAMIKA
PELAKSANAAN UUD 1945 “AMANDEMEN”
Amandemen/Perubahan UUD’45 Dan Dinamika Pelaksanaan
UUD’45 Sejak Awal
Kemerdekaan Hingga Masa Reformasi
a. Proses Perubahan/Amandemen Undang Undang Dasar
1945
Pasal terakhir Undang-Undang Dasar 1945 hasil
amandemen juga memuat tentang perubahan Undang-Undang Dasar, terutama mengingat
agar Undang-Undang Dasar itu senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman dan
aspirasi rakyat. Pasal 37, memuat 5 ayat berkaitan dengan ketentuan tentang
perubahan Undang-Undang Dasar, sebagai berikut:
(1)
Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam siding
Majelis Permusyawaratan Rakyat, apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari
jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2)
Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis
dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta
alasannya.
(3)
Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis permusyawaratan
Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
(4)
Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu dan seluruh
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(5)
Khusus tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan.
Pasal yang mengatur tentang perubahan Undang-Undang
dasar ini ditentukan berkaitan dengan pasal-pasal Undang-Undang Dasar, jadi
bukan terhadap Pembukaan UUD 1945. Logikanya kalau hak itu menyangkut Perubahan
Pembukaan UUD 1945, hak itu sama halnya mengubah seluruh sistem negara yang
meliputi bentuk negara, sifat negara. Berketuhanan, tujuan negara dan dasar
negara Pancasila. mengingat Pembukaan sebagai deklarasi bangsa Indonesia dan
dalam ilmu hukun disebut sebagai ‘Stoatsfundamentainomy’, yang merupakan
sumber norma hukum positif Indonesia.
BAB
5: Politik dan Strategi
Politik
Pembangunan Nasional Dan Manajemen Nasional
Politik merupakan cara untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan politik bangsa Indonesia telah tercantum
dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap seluruh bangsa Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. Dengan demikian, politik pembangunan harus berpedoman pada
pembukaan UUD 1945.
Politik pembangunan sebagai pedoman dalam
pembangunan nasional memerlukan kepanduan tata nilai, struktur, dan proses.
Keterpaduan tersebut merupakan himpunan usaha untuk mencapai efisiensi, daya
guna, dan hasil guna sebesar mungkin dalam penggunaan sumber daya dan dana
nasional dalam rangka mewujudkan tujuan nasional. Karena itu diperlukan sistem
manajemen nasional yang berfungsi memadukan penyelenggaraan siklus kegiatan
perumusan, pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan. Sistem
manajemen nasional memadukan seluruh upaya manajerial yang melibatkan
pengambilan keputusan berkewenangan dalam rangka penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan ketertiban nasional sosial, politik,
dan administrasi.
BAB
7: Rule of Law
Prinsip-Prinsip
Rule of Law Secara Formal di Indonesia
Di Indonesia, prinsip-prinsip rule of law secara
formal tertera dalam pembukaan UUD
1945
yang menyatakan :
a.
bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa,… karena tidak sesuai dengan
peri kemanusiaan dan “peri keadilan”;
b.
,..kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur;
c.
,.untuk memajukam “kesejahteraan umum”,… dan “keadilan sosial”;
d.
,.disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia”;
e.
“… kemanusiaan yang adil dan beradab”; serta
f.
… serta dengan mewujudkan suatu “keadilan sosial” bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Prinsip-prinsip tersebut pada hakikatnya merupakan
jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia, juga
“keadilan sosial” sehingga Pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif
bagi penyelenggaraan negara. Dengan demikian, inti dari rule of law adalah
jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial.
Prinsip-prinsip di atas merupakan dasar hukum
pengambilan kebijakan bagi penyelengaraan negara/pemerintahan, baik di tingkat
pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan atas rasa keadilan terutama
keadilan sosial. Penjabaran prinsip-prinsip Rule of Law secara formal
termuat di dalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu :
a.
Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 Ayat [3]);
b.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 Ayat [1]);
c.
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan,
serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
(Pasal 27 Ayat [1]);
d.
Dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ( Pasal 28 D Ayat [1]);
serta
e.
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja ( Pasal 28 D Ayat [2]).
BAB
8: Hak Azasi Manusia
HAM
Menurut UU No. 39 tahun 1999
Dalam proses reformasi dewasa ini terutama akan
perlindungan hak-hak asasi manusia semakin kuat bahkan merupakan tema sentral.
Oleh karena itu jaminan hak-hak asasi manusia sebagaimana terkandung dalam UUD
1945, menjadi semakin efektif terutama dengan diwujudkannya Undang-Undang
Republik Indonesia No. 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi manusia. dalam
Konsiderans dan Ketentuan Umum Pasal I dijelaskan, bahwa Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaban manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan anugerahNya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Selain hak asasi juga dalam LJU No. 39 tahun 1999, terkandung kewajiban dasar
manusia, yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak
memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
UU No. 39 tahun 1999 tersebut terdiri atas 105 pasal
yang meliputi macam Hukum asasi, perlindungan hak asasi, pembatasan terhadap
kewenangan pemerintah serta KOMNAS HAM yang merupakan lembaga pelaksana atas
perlindungan hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi tersebut meliputi, hak untuk
hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak
memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas
kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak.
Demi tegaknya asasi setiap orang maka diatur pula
kewajiban dasar manusia, antara lain kewajiban untuk menghormati hak asasi
orang lain, dan konsekuensinya setiap orang harus tunduk kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selain itu juga diatur kewajiban dan tanggung
jawab pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan serta memajukan
hak-hak asasi manusia tersebut yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
dan hukum internasional yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Dengan diundangkannya UU No. 39 tahun 1999 tentang
hak-hak asasi manusia tersebut bangsa Indonesia telah masuk pada era baru
terutama dalam menegakkan masyarakat yang demokratis yang melindungi hak-hak
asasi manusia. Namun demikian sering dalam pelaksanaannya mengalami kendala
yaitu dimana antara penegakkan hukum dengan kebebasan sehingga kalau tidak
konsisten maka akan merugikan bangsa Indonesia sendiri.
BAB
9: Hak dan Kewajiban Warga Negara
Problem
Status Kewarganegaraan
Apabila asas kewarganegaraan di atas diterapkan
secara tegas dalam sebuah negara, akan mengakibatkan status kewarganegaraan
seseorang menjadi sebagai berikut :
a.
Apatride, yaitu seseorang tidak mendapatkan kewarganegaraan disebabkan
oleh orang tersebut lahir di sebuah negara yang menganut asas ius sanguinis.
b.
Bipatride, yaitu seseorang akan mendapatkan dua kewarganegaraan apabila
orang tersebut berasal dari orang tua yang negara asalnya menganut sanguinis,
sedangkan ia lahir di suatu negara yang menganut ius soli.
c.
Multipatride, yaitu seseorang (penduduk) yang tinggal
di perbatasan antar – dua negara.
Dalam rangka memecahkan problem kewarganegaraan di
atas, setiap Negara memiliki peraturan sendiri sendiri yang prinsip prinsipnya
bersifat universal sebagaimana dalam UUD 1945 Pasal 28 D Ayat (4) bahwa setiap
orang berhak atas status kewarganegaraan. Oleh sebab itu, negara Indonesia
melalui UU no. 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan Indonesia dinyatakan bahwa
cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia sebagai berikut:
a.
Karena kelahiran ;
b.
Karena pengangkatan ;
c.
Karena dikabulkan permohonan ;
d.
Karena pewarganegaraan ;
e.
Karena perkawinan ;
f.
Karena turut ayah dan ibu ; serta
g. Karena pernyataan.
BAB
10: Geopolitik Indonesia
GEOPOLITIK
DAN HUKUM KEWILAYAHAN
Hukum Laut dan Perkembangannya
Perkembangan Sejarah hukum laut tidak lepas dari
kemajuan teknologi maritime perkapalan dan kepelabuhanan – Belanda dan Inggris,
serta orientasi komoditi perdagangan dunia (Simbolon, 1995). Setelah Perang Salib
sampai dengan bagian akhir zaman pencerahan (renaissance), laut praktis
hanya menjadi milik Spanyol dan Portugal sehingga ada semacam pembagian wilayah
yuridiksi dari kedua Negara tersebut. Bagian akhir zaman pencerahan (renaissance),
teknologi maritime Belanda dan Inggris melampaui Spanyol dan Portugal. Oleh
Karena itu, hukum laut banyak ditentukan oleh polemik bangsa Belanda dan
Inggris.
Namun, sebelum membahas polemik yang menghasilkan
rezim hukum laut, ada baiknya dibahas terlebih dahulu hakikat laut. Hakikat
laut adalah:
1.
bebas, merdeka dan bergerak, serta relatif tetap dan tidak mudah dirusak;
2.
datar dan tebuka, serta tidak dapat dipakai sembunyi;
3.
tidak dapat dikuasai secara mutlak (tidak dapat dikaveling, sulit diberi
tanda); serta
4.
media untuk bermacam-macam alat angkut, terutama yang bervolume besar.
Dari hakikat tersebut timbul, falsafah hukum laut
yang berbuntut pada perebutan wilayah laut yakni:
1.
Res Nullius: Laut tidak ada yang memiliki, karena itu dapat diambil dan
dimiliki setiap negara;
2.
Res Communis: Laut milik masyarakat dunia, karena itu tidak dapat
diambil/dimiliki oleh setiap negara.
Belanda dan Inggris merasa bahwa mereka tidak harus
tunduk pada negara yang lebih “primitif”. Oleh karena itu, para ahli hukum dari
kedua negara tersebut saling berpolemik mengeluarkan argumentasi tentang hak
atas laut.
BAB
11: Geostrategi Indonesia
Perkembangan
Konsep Geostrategi Indonesia
Pada awalnya pengembangan awal geostrategi Indonesia
digagas Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) Bandung tahun 1962.
Isi konsep geostrategic Indonesia yang tenimus adalah pentingnya pengkajian
terhadap perkembangan lingkungan strategi di kawasan Indonesia yang ditandai
dengan meluasnya pengaruh Komunis. Geostrategi Indonesia pada waktu itu
dimaknai sebagai strategi untuk mengembangkan dan membangun kemampuan
teritorial dan kemampuan gerilya untuk menghadapi ancaman komunis di Indocina.
Pada tahun 1965-an lembaga ketahanan nasional
mengembangkan konsep geostrategi Indonesia yang lebih maju dengan rumusan
sebagai berikut: Bahwa geostrategic Indonesia harus berupa sebuah konsep
strategi untuk mengembangkan keuletan dan daya tahan, juga untuk mengembangkan
kekuatan nasional dalam menghadapi dan menangkal ancaman, tantangan, hambatan,
dan gangguan, baik bersifat internal maupun ekstemal. Gagasan ini agak lebih
progresif, tapi tetap terlihat konsep geostrategi Indonesia baru sekadar
membangun kemampuan nasional sebagai faktor kekuatan penangkal bahaya.
Sejak tahun 1972 Lembaga Ketahanan Nasional terus
melakukan pengkajian tentang geostrategi Indonesia yang lebih sesuai dengan
konstelasi Indonesia. Pada era itu konsepsi geostrategi Indonesia dibatasi
sebagai metode untuk mengembangkan potensi ketahanan nasional dengan pendekatan
keamanan dan kesejahteraan untuk menjaga identitas kelangsungan serta
integritas nasional sehingga tujuan nasional dapat tercapai. Terhitung mulai
tahun 1974 geostrategi Indonesia ditegaskan wujudnya dalam bentuk rumusan
ketahanan nasional sebagai kondisi, metode, dan doktrin dalam pembangunan
nasional. Pengembangan konsep geostrategi Indonesia bahkan juga dikembangkan
oleh negara-negara yang lain dengan bertujuan :
a.
Menyusun dan mengembangkan potensi kekuatan nasional, baik yang berbasis pada
aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan hankam, maupun aspek-aspek alamiah.
Hal ini untuk upaya kelestarian dan eksistensi hidup negara dan bangsa dalam
mewujudkan cita-cita proklamasi dan tujuan nasional.
b.
Menunjang tugas pokok pemerintahan Indonesia dalam:
1
) menegakkan hukum dan ketertiban (law and order),
2)
terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and prosperity),
3)
terselenggaranya pertahanan dan keamanan (defense and prosperity),
4)
terwujudnya keadilan hukum dan keadilan sosial (yuridical justice and social
justice), serta
5)
tersedianya kesempatan rakyat untuk mengaktualisasikan din (freedom of the
people).
Geostrategi Indonesia sebagai pelaksanaan geopolitik
Indonesia memiliki dua sifat pokok sebagai benkut.
a.
Bersifat daya tangkal. Dalam kedudukannya sebagai konsepsi penangkalan,
geostrategi Indonesia ditujukan menangkal segala bentuk ancaman, gangguan,
hambatan, dan tantangan terhadap identitas, integritas, serta eksistensi bangsa
dan negara Indonesia.
b.
Bersifat developmental/pengembangan, yaitu pengembangan potensi kekuatan bangsa
dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankarn sehingga tercapai
kesejahteraan rakyat.
TUGAS
AKHIR PAPER
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
DISUSUN OLEH
NAMA :
M. ASFAR SYAFAR
NIM : I111 12 286
KELOMPOK : ENAM
KELAS :
PETERNAKAN-C
UNIT PELAKSANA TEKNIS
MATA KULIAH UMUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar