Davy Hendri ;
Dosen IAIN Imam Bonjol Padang,
Mahasiswa Program Doktoral
Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia
MEDIA INDONESIA, 17 September 2013
KISRUH harga daging sapi mencapai klimaks dengan terbitnya Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 699 Tahun 2013 tentang Stabilisasi Harga Daging. Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan kebijakan operasional mengenai perubahan tata niaga impor daging sapi, yang semula berbasis kuota menjadi berbasis harga. Kebijakan itu membuka selebarnya pintu impor sapi hidup dan daging sapi sehingga diharapkan harga daging di dalam negeri yang selama ini bertengger di harga Rp90.000-an akan turun menjadi sekitar Rp76.000-an per kilogram.
Keputusan pemerintah untuk
menempuh kebijakan ini pun tidak dirumuskan dengan mudah. Pertimbangan
pemerintah bukan sekadar dalam lingkup industri sapi. Bukan hanya melindungi
keberlangsungan usaha pedagang sebagai distributor, melainkan juga pelaku usaha
sebagai konsumen antara dan rumah tangga sebagai konsumen akhir daging sapi
dalam skala luas.
Lebih jauh dari itu. Kenaikan
harga daging sapi secara dramatis dalam rentang waktu relatif pendek berpotensi
memberikan sumbangan signifikan terhadap inflasi nasional. Padahal keterpurukan
nilai rupiah saat ini sudah menggerek angka inflasi secara signifikan. Tanpa
kontrol ketat terhadap inflasi, tidak tertutup kemungkinan tragedi resesi
ekonomi nasional pada 1997 dapat terulang.
Tragedi peternak
Ironisnya, walaupun keran impor dibuka lebar, harga daging sapi bergeming. Hingga saat ini, peternak masih belum akan mau menjual sapi mereka. Harapan peternak rakyat untuk memperoleh profit tersisa dari booming demand yang diperkirakan terjadi menjelang Lebaran kurban. Sementara itu para feedloader yang mengimpor sapi bakalan saat ini tentu mengharapkan margin besar dari kenaikan bobot ADG (average daily gain). Sisi lain kebijakan ini, peternak sebagai produsen utama daging sapi berpotensi besar merugi. Benar adanya bahwa kenaikan total suplai yang jauh tertinggal dari lonjakan demand akan semakin mendorong kenaikan harga daging sapi. Meski demikian, harapan untuk menikmati profit bagi peternak rakyat dirampas oleh realitas pasar. Harga daging sapi impor relatif lebih murah sehingga bayangan profit yang akan diperoleh pada masa Lebaran kurban itu tiba mungkin bisa hanyut disapu banjir impor sapi. Lebih tragis lagi, sebagian dari mereka terancam bangkrut. Potensi bangkrut itu menghantui kelompok tani yang telah memanfaatkan fasilitas kredit bersubsidi (subsidi bunga) dari pemerintah melalui program Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE).
Jika harga jual daging pada saat Lebaran kurban nantinya minimal sama dengan harga sekarang, ada kemungkinan mereka mampu bertahan dan melunasi kredit. Sebaliknya, jika harapan tadi meleset, para peternak rakyat akan rontok. Utang tidak terbayar. Dampaknya kemudian bank dan lembaga keuangan lainnya akan semakin menjauhi para petani. Industri peternakan rakyat akan menukik ke titik nadir, kembali ke level subsistence. Swasembada sapi hanya akan tinggal mimpi. Pada akhirnya, negeri ini akan terjatuh dalam jebakan foodtrap.
Ironisnya, walaupun keran impor dibuka lebar, harga daging sapi bergeming. Hingga saat ini, peternak masih belum akan mau menjual sapi mereka. Harapan peternak rakyat untuk memperoleh profit tersisa dari booming demand yang diperkirakan terjadi menjelang Lebaran kurban. Sementara itu para feedloader yang mengimpor sapi bakalan saat ini tentu mengharapkan margin besar dari kenaikan bobot ADG (average daily gain). Sisi lain kebijakan ini, peternak sebagai produsen utama daging sapi berpotensi besar merugi. Benar adanya bahwa kenaikan total suplai yang jauh tertinggal dari lonjakan demand akan semakin mendorong kenaikan harga daging sapi. Meski demikian, harapan untuk menikmati profit bagi peternak rakyat dirampas oleh realitas pasar. Harga daging sapi impor relatif lebih murah sehingga bayangan profit yang akan diperoleh pada masa Lebaran kurban itu tiba mungkin bisa hanyut disapu banjir impor sapi. Lebih tragis lagi, sebagian dari mereka terancam bangkrut. Potensi bangkrut itu menghantui kelompok tani yang telah memanfaatkan fasilitas kredit bersubsidi (subsidi bunga) dari pemerintah melalui program Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE).
Jika harga jual daging pada saat Lebaran kurban nantinya minimal sama dengan harga sekarang, ada kemungkinan mereka mampu bertahan dan melunasi kredit. Sebaliknya, jika harapan tadi meleset, para peternak rakyat akan rontok. Utang tidak terbayar. Dampaknya kemudian bank dan lembaga keuangan lainnya akan semakin menjauhi para petani. Industri peternakan rakyat akan menukik ke titik nadir, kembali ke level subsistence. Swasembada sapi hanya akan tinggal mimpi. Pada akhirnya, negeri ini akan terjatuh dalam jebakan foodtrap.
Jalan Tengah
Tidakkah kita belajar bahwa
kebergantungan pada suatu komoditas di tengah ketidakmampuan menyediakan
komoditas substitusi lainnya ialah kesalahan fatal?. Bukankah kita sendiri yang
menggagas konsep swasembada pangan? Bukankah kredit KKPE merupakan dana publik
yang harus diselamatkan? Jika kita sepakat menjawab ya, kesejahteraan peternak
rakyat juga harus mendapat perhatian serius. Tidak selalu semua kebutuhan yang
tidak dapat kita produksi akan tersedia dan dapat dipenuhi dengan cara impor
dari luar negeri setiap saat kita membutuhkannya. Sudah menjadi hukum besi
ekonomi bahwa pada saat krisis (kekurangan produksi), semua negara akan
mengutamakan kepentingannya.
Oleh karena itu, pendulum keberpihakan harus bergeser ke tengah. Perbaikan kebijakan dan program secara terintegrasi harus dimulai dari hulu ke hilir. Pada sisi hulu, saat ini impor adalah harga mati guna menambah kuantitas dan kualitas stok suplai di masa datang. Namun, hal itu harus dilakukan secara terbatas baik jumlah, distribusi, maupun jangka waktunya. Dengan satu catatan tambahan penting bahwa peternak rakyat juga diberi peluang untuk memperolehnya. Pada tataran mekanisme dan kelembagaan, hal itu bisa dilakukan dengan revitalisasi dan perluasan peran Bulog.
Perbanyakan dan penguatan kelompok peternak rakyat juga merupakan strategi penting. Bila peternak rakyat menguasai keterampilan feeding yang baik sehingga ADG berat badan sapi bisa meningkat secara signifikan sebesar 50%, misal dari rata-rata 0,8 kg/ekor/hari menjadi 1 kg/ekor/hari, maka impor tentu akan berkurang sebesar itu juga. Strategi jalan tengah itu harus ditempuh demi keadilan ekonomi bagi semua pelaku. Sesuai dengan jiwa subsidi, yang seharusnya mengalir dari the have ke the have not, bukan dari peternak rakyat di perdesaan kepada konsumen kaya di perkotaan. ●
Oleh karena itu, pendulum keberpihakan harus bergeser ke tengah. Perbaikan kebijakan dan program secara terintegrasi harus dimulai dari hulu ke hilir. Pada sisi hulu, saat ini impor adalah harga mati guna menambah kuantitas dan kualitas stok suplai di masa datang. Namun, hal itu harus dilakukan secara terbatas baik jumlah, distribusi, maupun jangka waktunya. Dengan satu catatan tambahan penting bahwa peternak rakyat juga diberi peluang untuk memperolehnya. Pada tataran mekanisme dan kelembagaan, hal itu bisa dilakukan dengan revitalisasi dan perluasan peran Bulog.
Perbanyakan dan penguatan kelompok peternak rakyat juga merupakan strategi penting. Bila peternak rakyat menguasai keterampilan feeding yang baik sehingga ADG berat badan sapi bisa meningkat secara signifikan sebesar 50%, misal dari rata-rata 0,8 kg/ekor/hari menjadi 1 kg/ekor/hari, maka impor tentu akan berkurang sebesar itu juga. Strategi jalan tengah itu harus ditempuh demi keadilan ekonomi bagi semua pelaku. Sesuai dengan jiwa subsidi, yang seharusnya mengalir dari the have ke the have not, bukan dari peternak rakyat di perdesaan kepada konsumen kaya di perkotaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar